Selasa, 15 September 2009

Mahasiswa Dan Tanggung Jawab Intelektual Muda

Pernah mendengar ungkapan bahwa “mahasiswa sebagai “agent of change”? Selintas ungkapan ini mengingatkan kita pada kilasan sejarah heroisme mahasiswa yang menentang tirani dimasa pra kemerdekaaan.

Masih ingat dengan Sarekat Priyayi, Boedi Otomo, Sarekat Islam, Indische Party, Perhimpunan Indonesia, dsb. Organisasi-organisasi ini pada masa pra kemerdekaan merupakan pilar pergerakan yang berjasa merintis kemerdekaan.

Dan Tirtoadhisuryo, Soetomo, Muhammad Misbach, Douwes Dekker, dsb adalah tokoh intelektual penggeraknya. Mereka adalah aktor sejarah yang berani dengan tegas mengambil peran sebagai subyek yang menggerakkan sejarah sekaligus agen dari perubahan itu sendiri.

Ada satu titik singgung yang menjadi latar realitas yang membentuk kesadaran dari para aktor sejarah ini, mereka dibentuk oleh keadaan sosialnya yaitu penjajahan dan penindasan kolonialisme.

Dengan kata lain pengetahuan yang mereka dapatkan sebagai bagian dari dialektika intelektual mampu dipraktekkan pada ranah sosial yang sesungguhnya. Sehingga pengetahuan yang dihasilkan merupakan sebuah kerja praktek sosial. Pengetahuan yang lahir dari sebuah teori kemudian harus berperan sebagai pendukung praktek. Prakteklah yang kemudian menciptakan pengetahuan sekaligus menguji apakah pengetahuan yang kita miliki benar dan ilmiah.

Kancah pergerakan pra kemerdekaan sesungguhnya ruang praktek bagi tokoh pergerakan pada zamannya. Mereka tidak pernah melihat teori terpisah dengan prakteknya. Mereka adalah intelektual kampus yang berani keluar dari sekat pengetahuan teoritis dan mengabdi kepada masyarakatnya (baca: praktek). Ungkapan mahasiswa sebagai agent of change bukanlah sebuah retorika biasa, yang hanya digunakan sebagai pemanis kata di forum-forum ospek. Kemudian menguap seiring berjalannya waktu.

Ungkapan ini mengandung sebuah tuntutan tanggung jawab kepada “kaum muda kampus”. Bahwa seorang mahasiswa memiliki tanggung jawab yang jauh lebih besar, jauh menembus tembok-tembok tebal kampus dan melompati himpitan ruang-ruang kelas.

Teori, sekali lagi bukan hanya sekedar bacaan yang kita diskusikan diruang kelas akan tetapi sebuah bentuk penghayatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang mengkristal menjadi semangat perlawanan terhadap semua bentuk ketidakadilan dan pembelaan kepada setiap kelompok yang tergolong rentan dan rawan agar terhindar menjadi korban penindasan dan penganiayaan.

Mengapa tanggung jawab kesejarahan ini (masih) menjadi hak mahasiswa? Jawabannya, karena mahasiswa adalah insan kampus dengan tanggung jawab intelektualisme yang masih tergolong murni di antara kelompok intelektual lainnya. Meskipun secara kuantitas berjumlah kecil akan tetapi memiliki sumber daya yang besar sebagai modal dalam melakukan koreksi dan perubahan terhadap segala bentuk gejala dan perilaku yang menindas.

Dalam persfektif Gramcyan karakter intelektual setidaknya dibedakan menjadi dua tipologi dan orientasi yakni intelektual tradisional dan intelektual organik, yang masing-masing memiliki karakter dan orientasi yang berseberangan.

Intelektual tradisional memiliki karakter menjilat dengan orientasi diseputar kekuasaan dan cenderung menjadi alat legitimasi kekuasaan, sebalikya intelektual organik merupakan karakter intelektual yang memiliki visi kerakyatan, yang bergerak dan bertindak dengan suara dan kepentingan rakyat banyak.

Tidak berlebihan sekiranya apabila kita katakan bahwa mahasiswa merupakan karakter yang mewakili tipologi yang kedua ini, mengingat peran kesejarahan yang selama ini dimainkan dalam setiap momentum perubahan sosial di Indonesia.

Tokoh-tokoh pada periode pra kemerdekaan sesungguhnya figur yang berhasil dalam menjalankan misi intelektualisme tersebut, dengan menempatkan teori yang mendukung praktek dalam kerja-kerja sosial mereka pada zamannya.

Tanggung jawab mahasiswa sebagai pemegang amanat intelektualisme kaum muda sekali lagi menempatkan mahasiswa tetap pada posisi strategis untuk menggawangi perubahan di negeri ini, tinggal bagaimana kelompok “minoritas” ini mampu menyabut amanah yang pernah diberikan kepada mereka.

Seperti yang pernah dikatakan oleh Tan Malaka, “ jangan pernah kalian sebut kami sebagai pahlawan, ketika apa yang telah kami lakukan tidak dapat kalian teruskan.” Mudah mengatakannya bukan…!

1 komentar:


ShoutMix chat widget